Monday, January 25, 2016

Rakyat Termarginalkan

         Senja hari ketika matahari mulai lelah untuk menerangi bayang-bayang bumi yang tak pernah bisa menjadi wujud. Ya itulah yang kita lihat selama ini di dalam realitas kehidupan. Tak henti-hentinya penyiar berita selalu berceloteh tentang drama politik yang tak pernah ada habisnya. Sementara seorang lelaki paruh baya sedang membawa balon yang diikat pada tas lusuh. Jalan yang tertatih-tatih memakai pakaian yang terlihat selalu dipakainya sehari-hari. Entah apa yang dipikirkannya saat diperjalanan, matanya yang sayu tertanda ada sesosok lelah yang menggantung dipundaknya dan menjadi parasit dalam hidupnya. Di pinggir jalan terlihat generasi penerus bangsa yang seharusnya bisa duduk manis di dalam kelas namun mereka dengan wajah lesunya menawarkan koran dan barang dagangannya kepada para pengemudi yang memegang handphone mewah sambil menikmati sejuknya berada di dalam besi yang berjalan. Di bawah gedung-gedung megah yang katanya bisa mencakar langit terlihat sesosok tulang perempuan yang berbalut daging memegang tongkat sambil tergopoh-gopoh meminta belas kasih kepada kumpulan daging segar yang diselimuti kain mewah. Pemandangan yang tak asing bagi kita semua sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
            Terkadang rasa kasihan, prihatin, sedih, marah bercampur menjadi satu melihat kejadian-kejadian ini. Tapi apadaya ketika ingin melakukan sesuatu saya pun bingung mau melakukan apa. Seorang mahasiswa seperti saya yang masih manjadi parasit pada orang tua dan tidak memiliki kekuasaan dan harta, belum bisa berbuat apa-apa. Ingin terkadang membangunkan sebuah gedung yang bisa menampung orang-orang tua di jalanan atau membuat sekolah rakyat yang isinya anak-anak jalanan yang tidak berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan, tapi apadaya bagai punuk merindukan bulan. Tokoh-tokoh politik kita sibuk bermain peran, memperebutkan kekuasaan yang nantinya bakal selesai selama masa periode tertentu, dan para pengusaha yang selalu meraup untung dari peluh keringat rakyat kecil yang tak punya pendidikan, saya pun bingung sendiri apakah mereka melihat kejadian ini di kehidupan sehari-harinya ? Apakah mereka tak pernah keluar dari kandang megahnya karena terlalu sibuk untuk mengisi perut keluarganya ? Atau apakah memang kekuasaan dan harta yang mereka miliki tak mampu untuk memberika belas kasih kepada orang-orang ini ? Entahlah hanya mereka dan Tuhan yang tahu, lalu waktu akan menjawabnya.
            Saya menyebut aktor dari kejadian tersebut adalah rakyat marginal. Rakyat marginal adalah rakyat yang memang tak memiliki kesempatan untuk menikmati kenyamanan yang ada dalam hidup. Rakyat inilah yang menjadi populasi terbesar di dunia yang tak pernah terjamah oleh fungsi negara. Tetapi ada beberapa kelompok orang yang beranggapan bahwa mereka seperti itu karena kurang usaha, ada juga yang berpendapat bahwa mereka mendapatkan takdir yang seperti itu di garis tangannya. Saya jujur tak mengerti kenapa ada golongan-golongan di dalam kehidupan manusia. Apakah memang ini ujian untuk menguji siapa yang tepat untuk berada di surga layaknya soal SBMPTN yang sangat sulit untuk masuk ke perguruan tinggi ? Ya itulah kehidupan kita sekarang ini, fenomena-fenomena rakyat marginal selalu muncul ditengah-tengah kenyamanan kita. Tinggal hati atau logikamu saja yang kau pakai untuk melihatnya bukan menggunakan mata. 

0 komentar:

Post a Comment