Senja hari ketika matahari mulai lelah
untuk menerangi bayang-bayang bumi yang tak pernah bisa menjadi wujud. Ya
itulah yang kita lihat selama ini di dalam realitas kehidupan. Tak
henti-hentinya penyiar berita selalu berceloteh tentang drama politik yang tak
pernah ada habisnya. Sementara seorang lelaki paruh baya sedang membawa balon
yang diikat pada tas lusuh. Jalan yang tertatih-tatih memakai pakaian yang
terlihat selalu dipakainya sehari-hari. Entah apa yang dipikirkannya saat
diperjalanan, matanya yang sayu tertanda ada sesosok lelah yang menggantung
dipundaknya dan menjadi parasit dalam hidupnya. Di pinggir jalan terlihat
generasi penerus bangsa yang seharusnya bisa duduk manis di dalam kelas namun
mereka dengan wajah lesunya menawarkan koran dan barang dagangannya kepada para
pengemudi yang memegang handphone mewah sambil menikmati sejuknya berada di
dalam besi yang berjalan. Di bawah gedung-gedung megah yang katanya bisa
mencakar langit terlihat sesosok tulang perempuan yang berbalut daging memegang
tongkat sambil tergopoh-gopoh meminta belas kasih kepada kumpulan daging segar
yang diselimuti kain mewah. Pemandangan yang tak asing bagi kita semua sering
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Terkadang
rasa kasihan, prihatin, sedih, marah bercampur menjadi satu melihat
kejadian-kejadian ini. Tapi apadaya ketika ingin melakukan sesuatu saya pun
bingung mau melakukan apa. Seorang mahasiswa seperti saya yang masih manjadi
parasit pada orang tua dan tidak memiliki kekuasaan dan harta, belum bisa
berbuat apa-apa. Ingin terkadang membangunkan sebuah gedung yang bisa menampung
orang-orang tua di jalanan atau membuat sekolah rakyat yang isinya anak-anak
jalanan yang tidak berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan, tapi apadaya bagai
punuk merindukan bulan. Tokoh-tokoh politik kita sibuk bermain peran,
memperebutkan kekuasaan yang nantinya bakal selesai selama masa periode
tertentu, dan para pengusaha yang selalu meraup untung dari peluh keringat
rakyat kecil yang tak punya pendidikan, saya pun bingung sendiri apakah mereka
melihat kejadian ini di kehidupan sehari-harinya ? Apakah mereka tak pernah
keluar dari kandang megahnya karena terlalu sibuk untuk mengisi perut
keluarganya ? Atau apakah memang kekuasaan dan harta yang mereka miliki tak
mampu untuk memberika belas kasih kepada orang-orang ini ? Entahlah hanya
mereka dan Tuhan yang tahu, lalu waktu akan menjawabnya.
Saya
menyebut aktor dari kejadian tersebut adalah rakyat marginal. Rakyat marginal
adalah rakyat yang memang tak memiliki kesempatan untuk menikmati kenyamanan
yang ada dalam hidup. Rakyat inilah yang menjadi populasi terbesar di dunia
yang tak pernah terjamah oleh fungsi negara. Tetapi ada beberapa kelompok orang
yang beranggapan bahwa mereka seperti itu karena kurang usaha, ada juga yang
berpendapat bahwa mereka mendapatkan takdir yang seperti itu di garis
tangannya. Saya jujur tak mengerti kenapa ada golongan-golongan di dalam
kehidupan manusia. Apakah memang ini ujian untuk menguji siapa yang tepat untuk
berada di surga layaknya soal SBMPTN yang sangat sulit untuk masuk ke perguruan
tinggi ? Ya itulah kehidupan kita sekarang ini, fenomena-fenomena rakyat
marginal selalu muncul ditengah-tengah kenyamanan kita. Tinggal hati atau
logikamu saja yang kau pakai untuk melihatnya bukan menggunakan mata.
0 komentar:
Post a Comment